Usaha Walet Memang Sangat Menggiurkan, Tapi Pelaksanaanya Tidak Semulus Yang Dibayangkan

Melemahnya Budidaya Walet


Usaha walet memang sangat menggiurkan. Namun, di balik itu semua ternyata masih terdapat banyak "batu sandungan".

Rumah walet di beberapa daerah diisukan sebagai biang keladi munculnya penyakit tertentu. Dengan alasan itulah, masyarakat akhirnya melakukan protes dan menuntut agar diberlakukan larangan terhadap pembudidayaan walet di tengah pemukiman. Sementara di sentra walet di daerah lain, ribut-ribut dampak rumah walet seperti itu sama sekali tidak terasa. Masyarakat tidak terusik dan tidak merasa terganggu. meskipun di berbagai tempat tampak bangunan rumah walet.  


Awan Hitam Selimuti Bisnis Walet

Kejadian pada tahun yang lampau. masyarakat Metro beramai-ramai menutup patung burung walet yang berdiri tegar di tengah kota dengan kain hitam sebagai ujud protes Mereka menuntut agar pembangunan rumah walet di Metro dihentikan. Belakangan. protes serupa muncul di seluruh daerah sentra walet di Sumatera. Sebagai contoh. Pemerintah Daerah Medan telah menetapkan larangan pembudidayaan walet di tengah pemukiman. 

Alasan warga melakukan protes dipicu "kasus bireun'' yang mengisukan walet sebagai sumber penyakit. Sebagaimana ditulis Trubus edisi Maret 2001, sekitar 430 warga Bireun. Aceh. menderita penyakil kulit semacam campak jerman. Virus penyebabnya diduga berasal dari walet. Warga yang berada di sekitar pembudidayaan wale! merasa khawatir wabah penyakit meluas ke daerahnya. lsu yang berasal dari "Serambi Mekah'' ilu ditambah lagi dengan mun­culnya penyakit yang menyeran.g warga Metro, Lampung di dekat rumah walet. Dokter menyatakan, para penderita mengalami keluhan hampir sama. Awalnya panas dingin selama 3 hari disertai nyeri tulang. Setelah itu, muncul bintik-bintik merah di permukaan kulit selama 1 minggu. Bintik ini terasa gatal bila terkena keringat. Penderita pun mengeluh kaku pada persendian sehingga sulit dige­rakkan. 

Atas permintaan warga setempat akhirya Walikota Metro, Ors. Mozes Herman, menurunkan tim kesehatan ke daerah Sumur­bandung. Selain itu, warga juga meminta rumah walet di lokasi pertokoan Sumurbandung ditutup atau pindah lokasi. Rumah walet dituduh sebagai penyebab sah beberapa warga. Ada 12 orang yang terserang berbagai penyakit: 3 orang menderita scabies/ pediculosis/prurigo (gatal-gataE), 4 orang menderita dermatitis, 3 orang menderita ISPA (sesak napas), dan 2 orang mengalami hipertensi. 

Selain itu, bentuk bangunan rumah walet yang kotak menjulang tinggi karena di bangun 3-6 lantai dianggap mengganggu lingkungan. Jika malam. Metro seperti kota hantu. Gedung dibiarkan kosong dan hanya dijaga 1 centeng. Sirkulasi udara yang terhalang membuat udara terasa panas. Efeknya, beberapa lurah di Kecamatan Trimurejo menolak kedatangan in­vestor walet. 

Dilarang dan dipungut 

Bagaikan gayung bersambut, akhirnya keluhan masyarakat di­tanggapi oleh para petinggi daerah. Di Medan, misalnya, pemba­ngunan rumah walet di pusat kota akan dilarang. Larangan serupa akan diterapkan di Aceh Utara. Bahkan di Aceh lebih "gawat" lagi karena apabila terbukti walet yang menyebarkan beragam penyakit maka pembangunan rumah walet akan dilarang total. 

Lain halnya yang terjadi di Haurgeulis (lndramayu), ribut-ribut dari dampak rumah walet sama sekali tak terasa. Masyarakat di sentra walet yang berdiri sejak tahun 1986 ini sama sekali tidak merasa terganggu. Padahal, di setiap sudut tampak bangunan rumah walet. Di Haurgeulis hanya ada aturan yang menyatakan bahwa rumah walet di pinggir jalan harus berbentuk seperti rumah tinggal. Keuntungan bagi Pemda, setiap rumah walet dikenai retribusi. Pola retribusi ini tampaknya akan ditiru oleh pemerintah daerah lain untuk menggelembungkan PAD (pendapatan asli daerah). Di Medan dan Aceh Utara aturannya sedang digodok oleh DPRD. Di Sibolga, para pengusaha dikenakan retribusi produksi. 

Besar retribusi berbeda-beda, tergantung produktivitasnya. Panen 1-2 kg sebesar Rp 1 juta; panen 2-4 kg sebesar Rp 2 juta; panen 4-6 kg sebesar Rp 4 juta; panen 6-8 kg sebesar Rp 6 juta: dan panen 8-10 kg sebesar Rp 8 juta. Di atas 10 kg, setiap kelebihan 0, 1 kg dikalikan Rp 100.000,00. Daerah yang sudah menikmati PAD tinggi dari walet ialah Pemda Gunungkidul. Tahun ini targetnya Rp 80 juta dari retribusi rumah walet. 

Metro memberlakukan hal sama, izin lokasi usaha pembudidayaan walet mengacu pada Perda No. 16 Tahun 2000. Rencananya Metro mernbebaskan pusat kota dari usaha budi daya walet dengan radius 1 km. Di luar area bebas walet, Pernda menetapkan retribusi hasil produksi 2,5-10% dan bangunan Rp 5.000,00/m 2

Kecuali dari instansi, calon pengusaha harus mengantongi izin pendirian rumah walet dari tetangga. Batasan tetangga yakni radius 50 m dari lokasi. "Oulu, sebelum dibangun. pengusaha minta izin dari 15-25 KK. Sebagai tanda persetujuan, setiap KK menerima Rp200.000,00-Rp300.000,00," jelas Paulus Maun warga Purwodadi. Kecamatan Trimurejo, Metro. Besarya tanda izin ini berbeda untuk setiap tempat. Buktinya di belakang Kodim, tak jauh dari kediaman Paulus, tanda izin sampai Rp750.000,00 per KK. Kemudian saat panen, warga di lingkungan sekitar mendapat bagian lebih dari 2%. 

Asal jelas 

Rambu-rambu tersebut sepertinya bisa diterima pengusaha walet. ''Asal peraturannya jelas tidak menjadi masalah. Toh selama ini juga turut andil membangun daerah setempat. Sarana ibadah, perhubungan, dan kesehatan penduduk diperhatikan," ucap Boedi Mranata, pengusaha walet. Yang tidak mereka kehendaki ekspos berlebihan darnpak negatif walet yang sebetulnya belurn pasti. "Apa pun yang menghasilkan uang pasti ada risiko, tambahnya. 

Komentar senada dilontarkan praktisi lain. "Lihat nih, setumpuk surat yang minta sumbangan. Kita yang diuntungkan dari walet tentu tahu diri," kata lyok sambil menunjukkan surat-surat itu kepada Trubus. Memang pemilik rumah walet di Serpong, Tangerang, itu terkenal dermawan di lingkungan masyarakat sekitar. Kalau ldul Fitri dan hari-hari besar keagamaan ia selalu mem­bagikan hadiah tidak hanya kepada tetangga dekat. tetapi ke panti-­panti asuhan, jompo. dan anak yatim. 

Tidak hanya Boedi dan lyok yang menganggap pentingnya sosialisasi dengan masyarakat sekitar. Sutris, misalnya, penduduk Dusun V Bedeng 20, Kecamatan Trimurejo, merasa aman walaupun di belakang rumahnya ada 2 rumah walet. Sang pemilik bersedia menanggung biaya pengobatan jika di sekitar lokasi ada warga sakit. "Perjanjian itu tertulis di atas kertas segel," ungkap Sutris. Boedi menyayangkan jika sikap pemerintah daerah memusuhi keberadaan walet. "Orang lain dengan susah payah ingin mendatangkan walet, di sini malah diusik-usik," tegasnya. la mencontohkan, Kalimantan Utara (Serawak) kini tengah berusaha menarik investor untuk mengembangkan potensi walet di sana. 

Seminar dan pelatihan mengenai walet selalu mereka ikuti pada setiap kesempatan. Demikian Malaysia. Thailand, Vietnam, dan Filipina tengah mencoba membuntuti produksi sarang walet Indonesia. 

Indonesia, lanjut Boedi. sekarang memasok 70% kebutuhan dunia. Bahkan dengan produksi lebih dari 100 ton per tahun khusus sarang rumah, porsinya mencapai 90%. Sebetulnya di berbagai tempat mulai banyak yang tertarik mengembangkan walet, misalnya Kalimantan Timur, Riau. Bangka. Jambi, Batam, atau di .Jawa sendiri. Mereka melihat sarang walet bisa mendatangkan devisa luar biasa karena harganya tinggi. Sekilo sarang putih bersih siap santap berharga US$ 2.000-US$ 3.000. 

Belum pasti 

Memanfaatkan potensi walet dengan aluran jelas merupakan jalan keluar terbaik. Soalnya. keluhan walet sumber beragam penyakit belum terbukti. Bintik merah gatal yang diduga gejala rubela dan merebak di Metro sama sekali tidak berasal dari walet. ''Bukan. rubela ditularkan person to person." ungkap dr. Santoso Comain DSc, Ketua Lab. Imunologi, Kepala Bagian Makmal FKUI. Hasil kajian Tim Kesehatan Kota Metro terhadap 12 warga Sumurbandung menunjukkan bahwa penyakit yang diderita sebagian warga disebabkan oleh rendahnya kualitas lingkungan kesehatan. Misalnya. sumu1· gali umum tidak memenuhi persyaratan. pencahayaan kurang, dan kepadatan penduduk tinggi. Kadar nitrat dalam air sumllr mencapai 23.8605 mg/I dan pH 4.15. Angka itu menyimpang dari standar kelayakan pakai yang menetapkan 10 mg.,1 untuk kadar nitrat dan pH 6.5-9 Tim yang diketuai drg. H. Tony Duet lrianto. M.M. menyim­pulkan. ··warga tidak mempermasalahkan keluhan gatal-gatal dan ISPA. Pencetus adanya keluhan semata faktor ketidakpuasan. 

Ketika ruko beralih fungsi menjadi rumah walet, pengusaha tidak meminta persetujuan mereka. Sunu Kuntjoro S.Si, praktisi di Surabaya memberikan bukti otentik. Di Sidayu sebuah keluarga hidup bersama walet selama empat generasi tanpa mengalami keluhan sakit berarti. Keluarga itu. menempati ruangan di bawah rumah walet (lantai 1) yang dibangun 1839. '' Alhamdulillah, nenek sehat walafiat meskipun usianya sudah mencapai 87 tahun," imbuh H. Burhan sebagaimana dituturkan Sunu Kuntjoro. 

"lsu penyakit walet terlalu dilebih-lebihkan. Di sini tak pernah mengalami wabah," ujar salah seorang tokoh di Sidayu, Jawa Timur yang tidak mau disebut namanya sebab ia sendiri tinggal "bersama" walet (lantai atas dihuni walet, sedangkan lantai bawah manusia) selama 30 tahun tak pemah mengalami gangguan kesehatan serius. Kalaupun ada kutu, bukan dari walet. melainkan menempel di sarang. 

Pendapat senada dilontarkan Ninik Yumiwati, SE. pemasok perlengkapan rumah walet di Lampung, "Kalau benar ada penya­kitnya, orang luar negeri yang kontrolnya ketat pasti sudah mela­rang impor sarang walet. Nyatanya kan tidak. Dari tahun ke tahun permintaan Cina terhadap sarang walet malah terus meningkat." 

Relokasi 

Larangan mendirikan bangunan rumah walet di tempat tertentu memang bisa dilakukan. Namun, ide merelokasi rumah walet jelas tidak mungkin. "Walet bukan sapi yang gampang dikandangkan. la tidak bisa dipindah-pindah." kata Boedi. Rumah walet yang sudah ada sebaiknya dibiarkan karena tidak sedikit modal tertanam. Namun, di tempat itu jika tak sesuai dengan peruntukan tak boleh ada penambahan rumah walet hagi. 

Boedi membayangkan jika Pemda menyediakan lokasi jauh dari pemukiman, tetapi bukan habitat hidup walet maka hasilnya pasti nol. Lokalisasi ada keterbatasan populasi. Tak mungkin satu lokasi berisi 1.000 rumah walet. Ketersediaan pakan tak mencukupi. Sebanyak 1.000 rumah walet dengan rata-rata produksi 10 kg saja, berarti ada 2.400.000 walet. 

Kenyataannya, tak ada daerah yang menghasilkan sarang wa­let lebih dari 4.000 kg/tahun, atau setara 480.000 ekor walet. "Dipaksakan berarti sebagian besar rumah kosong tanpa penghuni karena walet mati kelaparan,'' jelas Boedi. 

Satu lokasi, idealnya hanya dihuni 50-an rumah walet. Bisa ditingkatkan menjadi 100 rumah dengan syarat kondisi lingkungan makro mendukung. Lahan persawahan terbentang luas, sungai banyak, dan tak ada polusi. Berdasarkan pengalaman Boedi, jarak terdekat antarlokasi 2-3 km. 

Walet: di Sini Oiobok-obok, di Negara Tetangga Dilirik

Para pemilik rumah walet di dalam negeri resah karena bisnis bertabur uang itu kini sedang digoyang peraturan pemerintah daerah. Pembangunan rumah walet diindikasikan akan dibatasi karena diduga menjadi penyebab penyakit pada manusia. Fakta ini menjadi ironis manakala negara tetangga justru sedang giat-giatnya mengembangkan walet. Malaysia dan Thailand bahkan memberi kredil murah untuk para calon investor rumah walet. Mereka juga tidak segan-segan mengundang investor walet asal Indonesia. 

Pembangunan rumah walet di Johor, Penang, dan Malaysia Timur semakin marak. "Saat ini wale! di Malaysia sedang bloom­ing," kata Dr. Boedi Mranata. Di negeri jiran itu bahkan ada toko khusus yang menjual sarang walet dan produk olahannya. Penduduk negara Singapura sampai harus lintas samudera ber­investasi di Jambi demi untuk memiliki rumah walet. Toko-toko di Thailand pun kini mulai dimasuki walet. 

Pembangunan rumah wale! di negara-negara itu sekarang mulai ngetren setelah mereka mengikuti seminar intemasional wale! di Surabaya pada 1996. Thailand. Vietnam. dan Filipina juga tidak ketinggalan. Pemicunya adalah harga yang menggiurkan. 

Sayangnya walaupun mereka sudah bersusah payah, tetapi walet masih enggan pindah dari gua. 
Padahal secara umum kondisi alam di negara-negara tetangga mendukung untuk pengembangan usaha walet. Boedi merujuk kondisi alam Malaysia. Serawak, dan Sabah, "Kondisi lingkungan di situ OK." Kendala yang dihadapi hampir tidak ada, kecuali taifun di Filipina. "Teknologi mereka memang masih tertinggal dibanding kita, ·· tutur Boedi. Namun, doktor biologi itu mengingatkan pengusaha walet manca1,egara agar rajin mencari informasi. Untuk jaminan keberhasilan usahanya. peminat di Serawak bahkan sampai mengundang pakar dari Indonesia. Jadi wajar, kalau kualitas sarang pun tak kalah dibandingkan Indone­sia. Negara-negara anggota ASEAN itu sebenarya produsen sarang walet. Namun, produksinya jauh di bawah Indonesia yang mencapai 70% dari total permintaan dunia, sedangkan Malaysia 15%, Thailand 10%, dan Vietnam 5%. Sarang walet yang dipanen pun kebanyakan dari alam. 

''Di Thailand, gua walet banyak ditemukan di bagian selatan, seperti di Provinsi Songkhla. Phuket, dan Phanga." ujar Ir. Nancy Martasuta. pakar alih teknologi pertanian Thailand. lni karena wilayah itu berupa pantai curam dengan tebing tinggi yang memang sesuai untuk habitat walet. Di Malaysia sarang walet putih banyak diperoleh dari pulau karang Suai dan Baram. Di Vietnam, sarang walet banyak ditemukan di gua-gua pualam. Sarang yang dihasilkan merupakan sarang walet kualitas paling baik di dunia karena sangat bersih. "Sarang walet alam Vietnam terbaik di dunia karena guanya pualam sehingga tidak mengotori sarang, ujar Boedi. Lain halnya dengan gua kapur seperti di Indonesia lingkungannya lebih kotor. 

Produksi melonjak 

Maraknya walet di negara tetangga tak membuat Boedi khawatir Memang. "Untuk jangka panjang jelas kita tersaingi. Apalagi setelah dibuka (rumah walet, red) di Kalimantan Utara, persaingan semakin ketat." papar pria berjulukan Raja Walet Merah itu. Lonjakan produksi diperkirakan baru terjadi 3-4 tahun mendatang. lni karena, "Dari mulai pembangunan sampai produksi membutuhkan waktu 5 tahun.'' ujar Boedi. Dengan rumah walet yang ada sekarang pertumbuhan produksi mencapai 10% per tahun. Tiga tahun mendatang dapat mencapai 20-30% karena rumah-rumah baru mulai berproduksi. 

Pada tahun 2001 lalu di Indonesia sudah terjadi peningkatan produksi. Kalau pada tahun 2000 produksi 70 ton per tahun. kini lebih dari 100 ton. Sementara di Malaysia 2 kali lipat dari tahun sebelumnya. Produktivitas di Malaysia belum sebaik di Indonesia karena mereka belum mengenal sistem lagur. 

Melimpahnya produksi, otomatis akan mempengaruhi harga. "Harga US$ 2.000 sekarang ini bukan harga tertinggi," kata Boedi. Harga tertinggi justru dinikmati pada 1997 sebesar US$ 3.000. Menurut prediksi Ketua ASBI (Asosiasi Sarang Burung Indonesia) untuk Jawa Barat dan OKI Jakarta serta wakil Indonesia di ABNA (Asean Birdnest Trader Association) yang bermarkas di Singapura ini, harga tetap stabil sampai 3 tahun ke depan. Penurunan harga terjadi pada 5 tahun yang akan datang disaat rumah walet negara tetangga mulai berproduksi. 
"Walaupun harga turun. dari segi pengusahaan bisnis walet belum tentu merugi," tegas Boedi. Dengan teknologi yang ada, produksi bisa dipercepat dan hasilnya lebih banyak. Lagi pula dengan harga rendah pangsa pasar semakin luas. Sebagai ilustrasi kalau di Indonesia kini menu sarang walet hanya dapat dinikmati di hotel berbintang, bila harga lebih rendah restoran pun mungkin bisa menyediakan. 

Penurunan harga kecil-kecilan biasa terjadi selepas perayaan lmlek. Selama 2-3 minggu harga turun hingga US$ 100-200. Menurut pengamatan Boedi, harga turun karena masih ada sisa panen di antara bulan Oktober-Maret yang merupakan masa panen raya. Pasokan melimpah otomatis harga turun. Pengusaha tidak mau menahan barang karena khawatir harga akan lebih jatuh lagi. Lagi pula perdagangan sarang walet masih belum aktif karena pelakunya masih merayakan kedatangan tahun baru Cina itu. 

Larinya dana investasi 

Walau tak khawatir tersaingi, pengusaha walet dalam negeri perlu mewaspadai pertumbuhan rumah walet di mancanegara. Pasalnya, pasar tujuan semua produsen sama. yaitu Cina, Singapura. dan Hongkong. "Porsi kue" milik Indonesia tidak akan merosot asalkan bisa mengimbangi pertumbuhan di luar negeri. 

Pasar potensial yang masih layak digarap adalah Cina. "Perekonomian mereka sedang maju. Permintaan terhadap sarang walet ikut naik, papar Boedi. Di negara tirai bambu itu menu sarang walet ibarat ketupat bagi umat Islam saat Lebaran. Semen­tara pasar Singapura dan Hongkong mulai jenuh, bahkan cende­rung turun. Namun, pasar walet tetap terbuka lebar. "Secara keseluruhan situasi ini tidak menurun karena permintaan Cina meningkat," tutur pria kelahiran Banyuwangi ini. Masih banyak permintaan yang belum dapat dipenuhi. Buktinya, ''Berapa pun sarang yang diproduksi, pasti habis," ujar pehobi tenis meja itu. Sementara lonjakan produksi tersebut paling tidak hanya akan mempengaruhi harga jual sarang. 

Kekhawatiran Boedi justru larinya dana investasi rumah walet ke negara tetangga. Ini mungkin terjadi bila pengusahaan walet tetap diobok-obok.  Apalagi dengan adanya AFfA 2003 tidak ada lagi halangan untuk investasi di luar negeri. Bahkan seorang Boedi Mranata yang notabene adalah tokoh walet Indonesia pun berburu peluang baru di negara tetangga. la sudah menjajagi Vietnam, Thailand, dan Malaysia. 

Liur Walet Sebuah Penantian yang Panjang

Berbicara tentang usaha walet memang sangat menggiurkan karena hanya dengan 1 kg sarang, uang belasan juta rupiah akan didapatkan. Dari usaha ini, beberapa pengusaha bisa berpenghasilan 1 miliar rupiah per bulan. Namun, di balik itu semua, temyata masih ban yak ··batu sandungan ·• yang harus dilewati, di antaranya adalah membutuhkan modal yang besar, teknik budi dayanya rumit. dan ancaman keamanan yang sangat tinggi. 

Perkembangan usaha walet di beberapa sentra penghasil sarang walet, menurut Trubus telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya sentra-sentra baru di Jawa maupun di luar Jawa, seperti di Serpong, Panimbang, Lampung, Batam, dan Medan. Sentra yang sudah ada pun tak luput dari serbuan para investor. Di Cirebon, Haurgeulis, Pemalang. Pekalongan, Blora, Sedayu, dan Banyuwangi, kian hari semakin marak dipadati gedung-gedung kokoh tertutup rapat. Namun, lain halnya yang terjadi di Metro. Lampung Tengah, beberapa warga justru memrotes pembangunan rumah walet yang terus berlangsung dengan alasan faktor kepadatan. Siapa yang tidak tergiur dengan "liur" berharga ribuan dolar? 

Ingat daya dukung 

Di Indonesia, pada saat ini diperkirakan ada sekitar 10.000 rumah walet dari berbagai ukuran. Sebagian besar tersebar di Pulau Jawa dengan produksi mencapai 80-100 ton dengan tingkat perkembangan 5%-10% per tahun. Menurut Boedi Mranata, pengusaha walet di Jakarta, daya dukung untuk usaha walet masih memungkinkan kecuali di daerah sentra yang terlalu padat. Menurutnya. f aktor kepadatan inilah yang sering tidak diindahkan calon investor. Akibatnya, mereka terperosok, sedangkan rumah walet yang menyerap modal besar tak kunjung membuahkan hasil. 

Kenyaraan ini mulai dirasakan para pemula. Suhendi yang mencoba memancing walet dengan bangunan 7 m x .5,5 m setinggi 3 lantai masih harus menanti. Rumah walet yang bemilai Rp 20 juta itu dibangun 2 tahun yang lalu (sebelum krisis}. Di Metro juga banyak orang yang kecele. Harapan. n;iasuknya walet hanya akan menjadi sebuah mimpi yang indah. Padahal beberapa tahun yang lalu Metro sempat menghebohkan para pengusaha walet karena dari sebuah rumah yang baru didirikan bisa langsung dihasilkan sarang sebanyak 20 kg. 

Rumah-rumah walet di sentra yang berpenghuni pun me­nunjukkan kecenderungan "stagnasi" produksi. Pembangunan rumah walet yang tidak sejalan dengan ketersediaan pakan mengakibatkan daya dukung menurun. Rumah walet semakin banyak dan padat, sementara lahan pertanian yang menjadi sum­ber pakan menyusut drastis. Padahal yang disebut berhasil menge­lola rumah walet. tidak sekadar bisa memancing walet masuk rumah. ''Kalau hanya ada 1 atau 2 pasang yang masuk, lantas tak berkembang, buat apa?'' ungkap Boedi. 

Sebuah rumah walet dianggap bagus kalau pada tahun ke-5 produksinya mencapai 10 kg/panen. Selanjutnya setiap kali panen (4 bulan sekali), ada peningkatan produksi 25%. Namun, ha) ini tidak mungkin tercapai di sentra yang tingkat produksi totalnya melebihi 2 ton/tahun. Contohnya ada di Haurgeulis. "Rumah berlantai dua di sana, berukuran 7 m x 14 m, baru menghasilkan 2 kg,·· ucap Masrana. Rumah _ini dibangun pada tahun 1988 dan mulai berproduksi sebanyak 1 ons pada tahun 1993. "Penye­babnya. populasi walet mencapaLtitik .jenuh'', jelas Boedi Mranata. Haurgeulis dengan tingkat produksi total sarang walet 2.790 kg per tahun. berarti ada Sekitar 232.559 ekor bisa dialami di daerah Cirebon (2.520 kg), PemaJang (3.030 kg), Pekalongan (2.130 kg). dan Purwodadi (2.100 kg). 

Modal besar 

Selain diperlukan kecermatan memilih lokasi. modal yang besar juga sangat diperlukan untuk membangun rumah walet. Kiki Ageng Budi. spesialis pembangun rumah walet di Serpong. Tangerang menjelaskan bahwa untuk membangun bangunan standar berukuran 8 rn x 16 m setinggi tiga lantai bisa rnenghabiskan biaya sekitar Rp 70 juta. Namun, biaya akan mernbengkak jika difasilitasi layaknya rumah walet berbintang lima seperti yang ada di daerah Subang. Rumah tersebut berukuran 30 m x 12 m. terdiri dari tiga lantai, megah, dinding clan lantai dicor setebaJ 40 cm. Di bagian dalamnya ada air terjun mini untuk memberikan kesan alami, sedangkan di luar gedung diikelilingi kolam yang dilengkapi air mancur. Bangunan yang diperkirakan menghabiskan biaya kurang lebih Rp 750 juta ini adalah milik Doddy Pramono seorang pengusaha sukses di Patrol, Jndramayu. Menurut pemilik 2 gedung walet berukuran besar yang salah satunya ditawar Rp 2 miliar ini, walet diperkirakan bisa masuk ke dalam bangunan yang istimewa ini dalam waktu 6 bulan. 

"Memang harus punya modal besar. Kalau hanya Rp 200 juta, lebih baik didepositokan.'· anjur Mulyadi. penggagas ··real es­tate" walet di Serpong. Seorang yang akan terjun ke usaha waJet harus mempunyai modal yang besar minimal sekitar Rp 500 juta, deposito cukup, dan berpenghasilan tetap. Ucapan ini dibenarkan oleh Gustaf Bram Kolondang, pengusaha yang menangani jual-beli sarang walet di Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Alasannya, investasi di walet tidak bisa diharapkan dalam waktu dekat. "Ada kemungkinan 5-6 tahun baru dimasuki seriti," kata hobiis mancing troling itu. 

"Jika modal pas-pasan. perkembangan produksi pun akan terpengaruh. Karena. si pemilik tak bisa menahan keinginannya untuk memanen sarang yang jumlahnya baru beberapa buah." Daddy menerangkan. Akibatnya, populasi walet tidak bertambah. dan ada kemungkinan kabur karena stres dipanen terus-rnenerus. Inilah yang menimpa sebagian besar pemilik rumah walet bermodal cekak. "Jangan sekali-kali. membangun rumah walet hasil pinjam uang dari bank. Sebaliknya. investasi di walet harus dianggap sebagai uang hilang, alias tidak ditunggu-tunggu," lanjut Daddy. Kesabaran dan simpanan modal yang cukup perlu dimiliki bagi mereka yang akan terjun ke usaha budi daya walet. 

Tak ada tandingan 

Hanya orang-orang bermodal kuat yang bisa mengelola rumah walet dengan baik dan menguntungkan. Slogan yang kaya semakin kaya di dunia walet berlaku sebab mereka bisa menahan sarangnya tidak dipanen hingga populasi walet di suatu rumah optimal. ''Pada tahun ketiga sebetulnya ada 12' sarang, tetapi saya biarkan walet berkembang biak. Seandainya di pan en pun paling cuma 1 ons." tutur pemilik toko swalayan Subur itu. Namun, dengan tidak dipanen, satu tahun kemudian sudah ada 120 sarang (1 kg). Kemudian dibiarkan lagi selama satu tahun sehingga menjadi 5 kg. Pada tahun kelima mencapai 10 kg. Setelah itu, bisa rutin dipanen setiap bulan minimal 10 kg. 

Pemanenan di rumah walet yang sudah menghasilkan sarang 10 kg, dampak stresnya tidak fatal. Walet tetap stres, tetapi mereka tidak akan kabur karena di kanan kiri ada sarang anak-anaknya. Keuntungan lain, sarang walet yang dibiarkan tidak dipanen sampai 3-4 kali berkembang biak, semakin besar dan tebal. Sarang seperti ini disebut sarang balkon, harganya 20-24 juta rupiah per kilo­gram. Sementara, yang rusak jumlahnya tidak banyak, hanya 10%. Lain halnya apabila pemanenan dilakukan pada saat produksinya masih sedikit, sekitar 30% walet akan pergi dari jumlah sarang walet yang dipanen. 

"Bagi saya investasi yang paling menguntungkan, ya di walet. Deposito di bank tak akan mengejar, sekalipun tingkat bunga pernah mencapai 70% per tahun. Asal, pengelolaannya dilakukan dengan benar ,'' tegas Doddy, pria yang mengaku bisa ber­penghasilan Rp 25 juta per dua hari itu. Di Haurgeulis sebagai­mana diinformasikan Doddy ada orang yang berpenghasilan di atas Rp 1 miliar per bulan dari liur walet. Rumah waletnya puluhan. Tanahnya saja kalau dijejerkan bisa menghubungkan Patrol hingga Subang. 

Selama bersahabat 

"Prospek sarang walet 5-10 tahun ke depan saya kira masih bagus. Kecuali Indonesia dan Cina tiba-tiba perang," Boedi menggambarkan. Indonesia selama ini menjadi pemasok sarang walet terbesar di dunia, mencapai 70% dari kebutuhan. Negara tujuan ekspor antara lain Singapura. Taiwan. Hongkong, dan Cina. Belakangan meluas ke Amerika, Kanada, dan daratan Eropa yang ada pemukiman etnis Cina. Volume ekspor sekitar 90% dari total produksi yang terdiri dari 80-100 ton sarang rumah, 7 ton sarang gua putih. dan 100 ton sarang gua hitam. Selebihnya untuk kebutuhan lokal, seperti hotel berbintang dan obat tradisional cina. 

Perrnintaan pasar dunia terus naik. "Saat ini mencapai 2 kali lipat dari pasokan. Kesempatan untuk mengembangkan rumah walet masih terbuka luas," Boedi menganalisis. Sebesar apa pun produksi yang dihasilkan pasti akan terserap habis. Hal ini dibukti­kan dengan mudahnya penjualan sarang walet. "Para eksportir maupun pedagang pengumpul berebut barang, sehingga persaing­an harga terjadi," cerita Abdullah Abdul Kadir Al-Haddad, peda­gang telur, piyik, dan sarang walet di Bangil, Pasuruan. 

"Betul, permintaan belum terpenuhi. Kalau tidak mana mungkin harga sarang walet terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1975-an harga sarang walet hanya Rp 60.000,00/kg, lalu 1995 Rp 4,5 juta, dan saat ini Rp 12 juta-Rp 13 juta. Pernah mencapai Rp 19 juta pada waktu kurs dolar terhadap rupiah Rp 14.00b.OO," papar H. Fatich Marzuki, pakar walet di Jawa Timur. 

Jadi, selama mitos sarang walet masih melekat di kalangan orang-orang Cina, pemilik rumah burung akan ayem tentrem. Bersenang-senang karena tinggal memetik dan menikmati hasilnya tanpa harus banting tulang. 
Seperti itulah yang kini dirasakan Hila! Bahaswan di Gresik, pemilik rumah walet di Bangil, Pasuruan. Setiap 4 bulan ia mema­nen sekitar 1,8 kg sarang walet dari rumah seluas 6 m x 10 m yang dibeli tahun 1995 seharga Rp 260 juta. Pada tahun berikutnya hampir bisa dipastikan Hilal akan memetik lebih banyak lagi sarang walet. Pasalnya. sejak April 1999 hingga sekarang, rumahnya yang telah diperluas menjadi 250 m2 ini belum pernah dikunjungi. Sarang waletnya dibiarkan tidak dipanen, burung di­beri kesempatan untuk berkembang biak. 

Dangdeur: wilayah usaha kecil-kecilan 

Walau tidak sebanyak Hila!, Ali warga Dangdeur, Balaraja, Tangerang ini mengaku bisa hidup tenang walau hanya 1 ons sarang walet yang bisa ia panen setiap bulannya. Hasil berjualan cincau atau mengayuh beca sama sekali tidak ditargetkan. "Sekadar mencari kesibukan. Penghasilan Rp 1 juta per bulan dari walet bagi saya sudah cukup," ungkapnya merendah. Ali mempunyai rumah walet berukuran 5 m x 6 m dengan hasil panen 2 ons per bulan, tetapi ia mendapatkan setengahnya karena dikontrakkan selama 10 tahun senilai Rp 10 juta. 

Orang yang seperti Ali tidak terhitung jumlahnya sebab di Dangdeur ini hampir semuanya mempunyai rumah walet. Yang belum mempunyainya segera menutup kamar mandi, warung, atau kamar. Selanjutnya melubangi bagian atas dinding selebar 20 cm x 40 cm untuk memancing walet masuk. Jelas, biayanya tak seseram yang ada di benak ca]on investor. Cukup 1-2 juta ru­piah. ''Penjualan sarang pun bisa ketengan, 1-2 kuping langsung dibawa ke penampung kala keperluan mendadak." jelas Kurdi, warga Dangdeur. 

Wale! membawa keberuntungan, dan bisa dijadikan investasi abadi. ltu jualah yang memberanikan Nilamsari (nama samaran) menginvestasikan sekitar Rp 1 miliar di kompleks walet Kade­mangan, Serpong. Rumah walet yang akan dibangun di lahan seluas 1.920 m2 dibuatnya berukuran 29 m x 20 m dengan tinggi 3.5 lantai. Biarpun usia Nilamsari sudah berkepala lima, tak ada salahnya kan untuk warisan anak cucu? 

Liku-Liku Perniagaan Sarang Walet

Anda pemain baru di walet? Bersiaplah rugi saat mendobrak dunia perdagangan sarang burung ini. Para pembeli akan menekan harga 10- 30% pada transaksi-transaksi awal. Namun, bila sudah dipercaya, mereka akan mencari Anda. 

Pengalaman pahit itu pemah dialami Rudy Senjaya. Pemilik toko buah di Muara Karang, Jakarta itu membawa 5 kg sarang burung walet ke Singapura. Satu per satu toko para pembeli di sana didatangi. Hasilnya, sarang burung terjual dengan harga 30% lebih murah daripada harga pasar. 

"Percuma kalau membawa 1-2 kg, untungnya tipis sekali Lebih baik dijual di dalam negeri. Toh, eksportir sarang ada di mana-mana." kata Rudy. Pengusaha buah ini sebenarnya hanya ingin menjajaki peluang. Kebetulan di Lampung banyak pengusaha walet yang mempercayainya untuk menembus pasar ekspor. "Prinsipnya asal mau kasih dia (importir, red) untung dulu, pasti mau terima," tambahnya. Namun. karena kesibukannya. pengiriman yang berjalan 3-4 kali terhenti. Dalam hal ini, pengusaha walet harus berani menerima untung yang kecil pada penjualan pertama untuk mendapatkan untung yang besar pada penjualan berikutnya. 

Pengalaman serupa dialami pula oleh Dr. Boedi Mranata ketika merintis bisnis sarang walet. "Harganya rendah,'' kata eksportir ini. Meskipun demikian. pemilik beberapa rumah walet itu tetap nekad menjual dengan harga "mepet". J.erih payahnya membuahkan hasil. Lama-kelamaan justru pembeli yang meminta barang dan harga pun perlahan-lahan dinaikkan. ''Saya kira ini biasa untuk semua bisnis," paparnya. 
Selain motivasi mencari untung besar, penarnpung sarang walet sangat berhati-hati menerima barang dari pemasok baru sebab kerap kali terjadi sarang walet diberi tambahan beras ketan atau paku payung untuk menambah bobot. lni baru sering diketahui ketika sarang dibersihkan sebelum diekspor. 

Saling curiga 
Tidak hanya pemilik sarang walet saja yang sulit menembus dunia bisnis ini. Pemilik modal yang mencari sarang walet untuk dijual lagi juga akan menghadapi kendala serupa. "Jangan harap dengan segepok uang di tangan bisa mudah mendapatkan sarang. ·· ungkap Endin, penampung sarang walet di lndramayu. 

Pedagang yang sudah jual-beli sarang walet selama 11 tahun ini menceritakan. ia telah mendatangi pemilik sarang walet langganannya di Jawa Tengah. Di seberang rumah itu ada rumah walet lain. Endin menanyakan. "'Apakah mau dipanen dan dijual? .. Jawaban pemilik rumah walet itu singkat, "Belum produksi." Belakangan setelah orang itu diyakinkan oleh pelanggannya. Endin bisa membeli sarang dari rumah itu, yang ternyata sudah berproduksi di atas 4 kg. Pemilik rumah walet tersebut khawatir, Endin hanya berpura-pura membeli untuk niat jahat. 

Reputasi dan uang kontan adalah dua modal utama untuk memperoleh dan menjual sarang. lni terjadi karena sarang walet bemilai tinggi sehingga pembeli dan penjual bertindak ekstra hati­hati. "Dikatakan bisnis tertutup, mungkin ya," kata Boedi Mranata. Rasa tidak percaya pula yang mendorong eksportir kemungkinan besar mengatakan. stok masih banyak jika yang menawarkan sarang orang baru. Padahal, sebetulnya ia butuh. 

Sikap hati-hati selalu diterapkan Shinta Dewi, eksportir sarang walet, saat ditawari barang. "Bmasanya saya tanya dulu, dikenalin sama siapa. tahu nomor telepon sini dari mana, dan tetangga siapa. Takut yang ditawarkan itu sarang walet curian atau mau menipu," katanya. 

Seandainya jawaban pemasok meyakinkan, eksportir dengan tujuan Singapura. Hongkong. dan Amerika ini memintanya datang membawa contoh. Shinta pasti tidak mau datang ke tempat pem­beli untuk menghindari risiko perampokan. 

Rantai pendek 

ltulah kendala terbesar bagi para pemula untuk menembus perdagangan walet. lmbalannya. begitu tembok penghalang tertembus, uang mengalir deras. Pedagang pengumpul seperti Endin bisa mendapatkan uang Rp 250.000.00-Rp 500.000,00 per ki­logram sarang. Perannya cuma berkeliling ke sentra-sentra rumah walet. membeli, dan setelah banyak dijual ke eksportir. 

Marjin sebesar itu juga diketahui oleh pemilik rumah walet, tetapi mereka tidak peduli. Tidak terbersit niat menjual langsung ke eksportir. "Biarlah. mereka juga harus diberi kesempatan mencari makan. Bikin repot saja. yang penting kan sama-sama senang dan tidak dirugikan, ., komentar lyok, pemilik 3 rumah wale! di Serpong. Tangerang. 

Dibandingkan bisnis lain. rantai tata niaga di perdagangan walet memang relatif pendek. Dari produsen dibeli penampung dan diteruskan ke eksportir. Ada juga yang menjadi produsen merang­kap eksportir. Para pengepul itu seakan menjadi jembatan antara pemilik rumah walet dan eksp01tir. ··Eksportir tidak bisa menanga­ni pemilik sarang volume kecil. ·· kata Dody Pramono. pemilik beberapa gedung walet di Patrol. lndramayu. 

Ngebom 

Lewat para pedagang pengepul pulalah para eksportir mendeteksi usaha saingannya meraup untung tinggi. Pada musim kemarau. ketika produksi sarang walet turun, eksportir yang berniat menggaet banyak uang mengebom pasar. 

Caranya, eksportir itu sudah menumpuk stok cukup banyak. Ketika tiba saatnya, ia sengaja membeli sarang walet dengan harga lebih mahal. Pemilik rumah walet lain ten tu saja mengetahui .harga baru ini dan mereka beramai-ramai menyamakan nilai jual dengan harga baru ini. Naiklah harga sarang burung. Setelah harga kian tinggi, eksportir ini mengeluarkan stok. tentu saja dengan harga baru sehingga untungnya berlipat. 

Taktik serupa ini sering terjadi. Wajar jika para eksportir biasanya sudah menyiapkan diri untuk menghadapi trik dagang itu. "Saya selalu punya stok satu ton.·· ungkap pebisnis sarang walet yang tak mau disebutkan namanya. Stok tersebut kira-kira sama dengan volume jualnya per bulan. 

Para pemain sarang walet memang mampu menyimpan sarang burung dalam jumlah relatif besar lni didukung oleh modalnya yang besar. Modal itu membuat mereka mempunyai bargaining po­sition kuat. Saal diliput Trubus, harga jual US$ 1. 700-US$ 2.000, tergantung kualitas. ··waktu kurs dolar terhadap rupiah tinggi, sarang bisa langsung dilepas. Sebaliknya jika rendah, sarang disimpan dulu. 10 hari atau lebih."' kata lyok menggambarkan kemampuannya menahan barang. 

Fluktuasi harga memang ada, meskipun tidak terlalu besar. Perbedaan nilai pasti muncul '.karena kualitas yang tidak sama. Dikenal sarang balkon. super, biasa, pecahan, dan sarang merah. Harganya berbeda-beda. Bahkan untuk sarang super pun masih dibedakan antara harga yang kotorannya banyak dan sedikit, atau kadar air banyak dan sedikit. Sarang berkadar air 10% akan dihargai 90% dari harga standar; kadar air 20%, nilainya 80%. 

Untuk negosiasi harga. Shinta Dewi menganjurkan pemasok membawa contoh dahulu. ''Asal jangan masternya baik, lalu yang dibawa belakangan jelek. apalagi dicampur sarang palsu, pasti ditolak," kata Shinta yang menampung sarang walet dari Cirebon. lndramayu. Serang, Pandeglang, Semarang. Padang. dan Bangka. 

Waspadai Kecurangan

Harga sarang walet memang sangat menggiurkan. Karena itu pula sering menjadi objek penipuan. Pihak yang dirugikan adalah para eksportir atau mungkin penampung besar karena yang membuat ulah biasanya makelar. 

Sarang dibuat lebih berat dengan cara menyelipkan lempengan besi. Cara mendeteksinya cukup dengan mengambil contoh, lalu ditimbang. Jika melebihi bobot standar, bisa dipastikan ada sesuatu yang ditambahkan pada sarang tersebut. Untuk sarang normal ber­ukuran 3-4 jari dalam 1 kg berisi 120-130 keping. Sarang balkon yang berukuran lebih besar dan tebal sekitar 80 keping per kilogram. 

Kecurangan lain yang tidak kalah maraknya adalah mempertebal sarang dengan beras ketan. Ketan yang sudah dita­nak dibuat adonan. selanjutnya dioleskan pada sarang. Sepintas tambalan itu tidak tampak karena pengerjaannya yang sangat rapi. Namun. jika diperhatikan secara seksama. sarang walet asli terlihat lebih mengilap Ada juga sarang walet palsu ynng dibuat uruh dari adonan kacang hijau. Tampilannya mirip sarang asli, tetapi jika dipotes lebih regas. 

Walet Digoyang lsu

Berkat teknologi rumah walet, Indonesia telah menguasai 80% pasar sarang walet di dunia. Namun, potensi luar biasa itu kini teran­cam karena beragam isu seperti kesehatan, lingkungan, dan CITES. Padahal negara tetangga kita, Thailand dan Malaysia, justru bani mulai belajar membuat rumah walet. Untuk menyikapi ha! itu, berikut dua komentar pakar walet. 

1. Drh. E. Nugroho. Pusat Konsultasi Peiwaletan Indonesia

Sebagai burung khas daerah tropis, walet hanya ada di Indo­nesia, Malaysia, Thailand. Vietnam. Myanmar, Filipina, Kepulauan Nicobar dan Andaman di India. dan Pulau Hainan di Cina. Kecuali Indonesia. populasi walet di negara-negara itu cenderung turun bahkan ada yang terancam punah karena pengambilan sarang walet gua yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. 
Di Nusantara. walet-walet penghuni gua ·· dipindahkan ·· ke rumah walet, sedangkan sarangnya dipanen dengan teknik tertentu. 

Selain populasi bertambah. sarang wale! rumahan ternyata berkualitas lebih tinggi daripada yang diambil dari gua. T eknologi inilah yang dilirik oleh Malaysia dan Thailand. Mereka belajar di sini dan mengembangkan di negaranya. Namun. keunggulan In­donesia itu sekarang digoyang oleh beragam isu. Contohnya bentuk rumah walet yang dlianggap mengganggu keindahan lingkungan. Bentuk rumah walet sebenarnya tidak perlu seperti kotak sabun yang tidak dicat. Rumah walet bisa saja dicat indah dan diberi berbagai variasi. Walet tetap mau masuk asalkan mikrohabitatnya sesuai dengan alam asli. Misalnya di dalam rumah, memang perlu ada bak air supaya kelembapan ruangan tinggi. Bak itu harus ditutup agar nyamuk tidak berkembang biak. 

Walet termasuk ordo Apodiformes. Menurut Arnall LA dan Keyner IF dalam An lntrodudion to Study of Birds in Health and Diseases disebutkan, keluarga ordo !tu bisa terserang virus dan bakteri. Khusus untuk seriti dan walet. ancaman yang muncul ialah penyakit Ornithosis don Psittacosis alias demam burung kakatua. Penyakit ini juga menyerang burung lain. seperti merpati, perkutut, tekukur, nuri, betet, dan parkit. 

Sebagai burung liar, kemungkinan walet menularkan penyakit pada manusia sangat kecil. Apalagi jika diingat daya jelajah walet saat mencari makanan sampai 25 km. Pagi hari keluar dan masuk lagi setelah malam. Jadi, kontak langsung dengan pemilik, penjaga rumah walet, atau masyarakat sedikit sekali. 
Jika dibudidayakan dengan benar, walet jelas bermanfaat. Sarangnya terbukti menghasilkan devisa. Menu makanan berupa serangga kecil dapat dipakai untuk menjaga keseimbangan ekosistem pertanian. Rumah walet harus dibangun dengan baik, seh.at, lestari, dan tidak mengganggu rnasyarakat sekitar. 

2. Sunu Kuntjoro S.Si., Pusat Rehabilitasi Sarang Walet

Walet dituduh sebagai penyebar penyakit campak jerman di Bireuen, Aceh. Gejalanya berupa bintik merah di badan disertai demam dan nyeri tulang. Ada Jagi yang mengatakan, wabah campak jerman di Bireuen karena walet tidak dikarantinakan terlebih dahulu. Walet di alam menghasilkan sarang hitam, sedangkan walet di kota menghasilkan sarang putih. Perhedaan itu menimbuJkan pendapat. ada migrasi walet ke kota yang seharusnya melalui proses karantina. 

Tuduhan itu jelas tidak berdasar karena di Sedayu ada rumah walet yang bersatu dengan rumah tinggal {rurnah walet terletak di atas rumah tinggal) dan telah diternpati sejak 1839. Namun, sarnpai sekarang penghuninya letap sehat wal afiat. 

Walet termasuk burung diurnal yang senantiasa ada di luar rumah pada siang hari untuk mencari makan. Tubuhnya akan selalu bermandikan sinar matahari yang diperkirakan dapat membunuh kuman yang ada. la juga termasuk hewan liar yang kelangsungan hidupnya ditentukan oleh seleksi alam. Kalau walet sakit, ia akan mati dalam perjalanan pulang dan tidak akan sempat menularkan penyakitnya ke walet yang lain. Buktinya. belum pernah ditemukan induk yang mati di dalam rumah sarang. 

Burung liar ini hidupnya bebas dan makanannya serangga terbang berukuran 1-7 mm. Kebiasaan makan seperti itu jelas tidak memungkinkan untuk rnengkarantina walet.Sebelum isu penyakit, walet juga pemah dihadang oleh CITES. Terlontar ide membatasi ekspor sarang burung melalui Apendiks JI. Kalau saja itu jadi dilaksanakan maka perdagangan sarang, telur, bahkan spesimen akan dilarang. Oampaknya tentu sangat buruk pada harga sarang burung. Namun, hambatan ini dapat diantisipasi dengan diselenggarakannya seminar berskala intemasional di Surabaya. Ke- 42 delegasi dari berbagai negara melakukan studi kasus di beberapa kota di Jawa Timur yang terbukti pemilik rumah walet tidak mengeksploitasi sarang burung secara membabi buta. Perbanyakan populasi dilakukannya melalui panen teratur dan pemeliharaan sarang. Kesimpulannya, pemberlakuan Apendiks II terhadap walet ditunda. Namun. CITES belum menggolongkan budi daya walet sebagai salah satu bentuk farming sebab walet belum bisa dikawinsilangkan dan pakannya pun masih harus dicari sendiri oleh si burung. 

Sebenamya yang diperlukan sekarang adalah jelasnya pem­binaan sarang burung. Selama ini budi daya walet belum menjadi bagian departemen yang sudah ada. Dinas Peternakan menolak karena budi dayanya belum bisa disebut peternakan. Departemen Pertanian beralasan bahwa walet bukan tanaman. Departemen Kehutanan mengabaikannya lantaran lokasi rumah walet di luar wilayahnya. Departemen Dalam Negeri yang selalu memungut PBB dan restribusi sarang burung juga tidak menanganinya de­ngan serius.

Penyebab Campak Jerman

Sekitar 430 warga Bireuen, Aceh yang berusia 15-40 tahun terjangkit semacam campak. Gejalanya demam di sekujur tubuh timbul bintik-bintik merah, gatal, pilek, nyeri sendi, muntah, lalu diikuti kejang-kejang. Hasil identifikasi dokter Mahlil Rubi, Kepala Puskesmas Jeumpa Bireuen menyebutkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh virus jerman measles atau virus walet. 

''Diduga erat kaitannya dengan aktivitas pembudidayaan walet yang sepanjang tahun 2000-2001 cukup marak di Bireuen. ·· jelas Mahlil Rubi sebagaimana dikutip harian Waspada. Namun. dr. Hanafiah. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh kemudian meluruskan, ·'Ciri-ciri penyakit memang memiJiki kemiripan dengan virus jerman measles, tetapi bukan. ·· Namun, Hanafiah pun tak bisa memastikannya. Berdasarkan penelitian pengamat satwa di Medan, drh. Pudjijono yang dilontarkan Muhammad Ibrahim kepada Waspada, ''Pemeliharaan burung walet di pemukiman padat penduduk dapat mengakibatkan pencemaran udara. Akibatnya. masyarakat rawan penyakit. Pencemaran udara terjadi karena kotoran walet yang menumpuk menimbulkan berbagai jenis virus, bakteri, dan jamur. Untuk mengantisipasi timbulnya penyakit yang diduga bersumber dari tumpukan koloran walet maka sanilasi rumah sarang harus selalu diperhatikan dengan cara mem­bersihkannya dalam jangka waktu tertentu. 

Ibrahim juga mengutip pernyataan Sanusi M. Syarif, Pemim­pin Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) yang pernah melakukan penelitian soal walet di Aceh Selatan. Walet yang terdapat di habitat aslinya merupakan penghasil sarang hitam, sedangkan yang dibudidayakan di perkotaan penghasil sarang putih. Mereka populasi migran. Biasanya satwa yang dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain harus dikarantina. Gunanya untuk menguji coba kecocokan lokasi baru dan mencegah kemungkinan membawa penyakit. Karena tidak melalui proses karantina, walet migran mungkin saja membawa virus, bakteri. atau jamur seperti kasus di Bireuen. 

Mustahil 

"Kotoran walet atau kelelawar sangat berpotensi mengandung gas radon lantaran aliran udara di rumah walet minim dan pengap. Kadar CO2 bisa mencapai 21.000 ppm dan amonia 5.000 ppm, sebut Drs. Otniel Ketaren menjelaskan hasil penelitian literatur Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL). Karena kotoran itu pula rumah walet menjadi sarang Salmonella dan coli Histoplasma capsulatum yang merupakan virus penyebab histoplasmosis yaitu batuk darah yang gejalanya mirip TBC. 

Genangan air yang digunakan untuk menjaga kelembapan rumah walet dapat juga mengundang perkembangbiakan nyamuk, baik Anopheles cutex (malaria) maupun Aedes aegypti (demam berdarah). "Bila populasi walet di gedung bersangkutan cukup besar, kemungkinan nyamuk dan serangga lain habis dimakan walet. Namun, jika populasinya masih sedikit atau malah belum ada, nyamuk akan keluar dari gedung dan menyebarkan penyakit," tambah Kepala BTKL, Oepartemen Kesehatan RI itu. Jadi apabila populasi walet di dalam gedung tersebut cukup besar maka kemungkinan besar nyamuk dan serangga lainnya akan termakan oleh walet sehingga tidak akan sempat keluar dari gedung untuk menyebarkan penyakit. 

Boedi Mranata. praktisi yang sudah menggeluti walet belasan tahun tak menyangkal kalau burung penghasil liur itu bisa menularkan penyakit. Kotoran dan lingkungan dengan kelembapan di atas 90% dan suhu 26° C dapat menimbulkan penyakit infeksi jika rumah tinggal menyatu dengan walet akan berbahaya bagi ibu hamil karena anaknya bisa terlahir cacat. Namun, para tetangga di sekitar rumah walet tidak perlu khawatir sebab gedung walet relatif tertutup. 

Hewan apa sih yang betul-betul bebas dari kemungkinan membawa mikroorganisrne penyebab penyakit t' cetusnya. Burung peliharaan seperti parkit sering menimbulkan asma pada anak kecil. Demikian pula, bebek. ayam, dan ikan, bahkan hunian manusia, potensial menyebarkan atau menjadi sumber penyakit jika tidak terawat. 

Lantas, bagaimana kaitannya dengan campak jerman? Boedi Mranata menuturkan bahwa campak jerman, roteln atau rubeolae, pertama kali ditemukan di Jerman yang jelas tidak memiliki burung walet. "Mustahil kalau walet menjadi penyebab atau pembawa penyakit tersebut," kilahnya. Pendapat ini disetujui para pengu­saha walet baik di Haurgeulis. Gresik. maupun Tangerang karena selama usaha walet itu berjalan belum pernah dijumpai penyakit campak jerman. 

''Di Haurgeulis belum pernah ada kejadian seperti di Aceh. Padahal jika campak jerman betul-betul bersumber dari walet. paling tidak warga Haurgeulis pernah mengalaminya. Sama halnya Sedayu atau Pemalang yang sudah ratusan tahun menjadi sentra walet. ·· ucap H. Djazuli Thoha. sesepuh perwaletan di Haurgeulis. la berpendapat, di Aceh terdapat rawa dan hutan yang cukup luas. Karena rawa dan hutan itulah banyak serangga yang mungkin saja menjadi vektor, misalnya nyarnuk. 

Apalagi campak jerrnan hampir terdapat di seluruh dunia. Di Indonesia penyakit itu sudah ada sejak lama sehingga tidak aneh jika setiap saat muncul kernbaU. Penyebab campak jerman sejenis virus. Cara penularannya hanya melalui manusia ke manusia. Masa inkubasi penularan 14-21 hari. 

Cukup beralasan bila Mulyadi, pengusaha walet di Serpong. Jawa Barat rnernandang kasus berjangkitnya campak di Bireuen dilebih-lebihkan. "Coba, siapa yang bisa rnernastikan walet sebagai penyebab. Oiteliti saja belum. Seharusnya pihak berwenang tidak sernbarangan berbicara karena berdampak sangat luas." pintanya. Conteh, di Cirebon para preman memanfaatkan berita itu untuk memeras pengusaha walet. ''Preman mengancam akan menge­rahkan warga guna merobohkan bangunan walet yang dinilai bisa membawa petaka. 

Kawin sedarah 

Kenyataannya beberapa pengusaha walet memang ada yang mempunyai anak cacat atau idiot. Namun sayangnya. sampai sekarang penyebab cacat tersebut belum diketahui. Bahkan sebagian masyarakat mempercayainya sebagai tumbal. ''Oulu saya takut sekali membudidayakan walet, tetapi saya yakin anak lahir cacat ada penyebabnya. ·· kata Sutisna. Karena keyakinannya. pengusaha besi di Jatinegara, Jakarta itu kini memiliki rumah walet di Majalengka, Cilamaya, dan Haurgeulis . 

. , Andai dari timbunan kotoran menumbuhkan berbagai mikroorganisme clan mencemari udara, sebarannya tidak terlalu jauh, paling 50 m." timpal dokter hewan di Semarang yang tak mau disebut namanya. Gedung walet hanya mempunyai satu lubang masuk berukuran sekitar 14 cm x 40 cm, dan beberapa ventilasi kecil. Jadi, sirkulasi dengan udara luar relatif sedikit sehingga yang paling berpeluang terkena serangan penyakit adalah penjaga atau pemilik rumah walet. Mereka sering masuk dan sehari-hari tinggal di lingkungan gedung. 

"'Anak pengusaha yang terlahir cacat pun bukan lantaran penyakit dari walet, melainkan karena kawin sedarah, '' jelas dokter hewan yang sekaligus praktisi walet. Para pengusaha walet tidak mau harta kekayaannya jatuh ke orang lain. Latu akhirnya mengawini saudara dekatnya. Logis jika anaknya ada yang ter­lahir cacat karena ilmu genetika pun melarang kawin sedarah. "Lihat daerah di jalur pantura yang diketahui sudah puluhan tahun membudidayakan walet. belum pernah terdengar wabah," ucap dokter yang telah menelititi soal anak cacat ini. 

Lokalisasi 

Lebih celaka lagi bila pemerintah daerah ikut-ikutan melarang budi daya walet tanpa pertirnbangan matang. Gejala itu terlihat dari rencana Pemda Medan. Bengkulu dan Aceh. Mereka akan menyediakan lokasi khusus budi daya walet di tempat jauh dari pemukiman. Padahal. selama ini gedung walet banyak tersebar di pusat-pusat kota. Di Bireuen terdapat di Geudong Teungoh, Pulo Ara. kawasan pertokoan pasar ikan, Jalan Langgar, Andalas, dan kawasan Gajah. Terminal Bus. Di Medan tercatat sekitar 200 gedung walet berasal dari ruko yang beralih fungsi, di antaranya ada di Jalan Kesawan. Jalan Pemuda. dan Jalan Ahmad Yani. Sementara di Bengkulu ada di kawasan Pecinan. 

"Pada pelaksanaannya nanti sulit memindahkan walet ke suatu lokasi tertentu sebab walet sulit diatur:· tambah Mulyadi. Dalam menempati suatu tempat ia sesuka hati. Di tempat ia mendapatkan rasa aman dan nyaman untuk berkembang biak maka di situlah ia tinggal. Sementara, gedung yang dibangun dengan biaya besar dan sudah dihuni walet, sayang jika harus dibongkar. Pasalnya. me­mancing walet masuk rumah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk menimbun sayur­an dan buah agar busuk serta menyediakan kolam. lni yang membuat pengusaha walet kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienis sebagaimana dituduhkan tim penyelidik kasus Bireuen. 

Agar kepentingan masyarakat dan pengusaha terwadahi, BTKL memohon Pemda bertindak bijaksana. Saat memberikan izin usaha walet perlu diperhatikan keluhan penduduk sekitamya yang terkait dengan undang-undang gangguan lingkungan serta aspek kesehatan. "Sebaiknya gedung walet jangan bercampur dengan tempat tinggal. Minimal berjarak 300 m dari pemukiman penduduk. Jarak 300 m itu didasarkan pada jelajah nyamuk dan serangga kecil," anjur Ketaren. 

Betulkah Walet Bahaya bagi Wanita Hamil?

Jangan sepelekan dernam, pilek. dan nyeri sendi. Apalagi jika diikuti bintik merah di wajah. ltulah awal berjangkitnya "rubela'' di tubuh Anda. Bahaya serius seperti keguguran dan mandul pun rnengancam. Beberapa dokter menganggap rubela penyakit biasa yang mudah disembuhkan. Betulkah ilu disebabkan walet? 

Sebutlah rubela maka perempuan hamil bergidik men­dengarnya sebab nama yang terdengar indah di telinga itu berbahaya lantaran berefek teratogenik. Maksudnya, menimbulkan cacat janin yang dikandung perempuan penderita rubela. Menurut dr. Santoso Cornain D. Sc .. cacat yang mungkin timbul bagi janin tak berdosa itu antara lain katarak. kelainan jantung, radang otak. radang paru. bahkan mikrosepali alias kepala mengecil.

Postingan populer dari blog ini

Sikap sarjana profesional, Potensi diri serta menentukan tujuan hidup, Berpikir positif

Tak Ada yang Tak Mungkin Jika Anda Percaya Maka Ada Jalan Untuk Menempuhnya

Modal Utama Untuk Meraih Kesuksesan Dalam Menggapai Impian